Kebenaran Dari Celah-celah Roman Hayy ibn Yaqzân
C'BOY Al-Bantani
|
Rabu, 22 Juni 2011
|
0 comments
Salah satu tokoh penting yang sangat berpenagaruh dalam sejarah falsafah Islam di barat, adalah Abubakar Muhammad ibn ‘Abd al- Mâlik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufayl. Filosof yang merupakan pemuka besar pertama pemikiran falsafi Muwahid dari Spanyol.
Keseriusannya dalam mempelajari pemikiran-pemikiran failasuf Yunani khususnya pemikran-pemikiran Aristoteles melalui teks-teks yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa arab tidak membuatnya menelan mentah-mentah berbagai ilustrasi dan imajinasi para failasuf Yunani namun berbagai bidang kajian kefalsafatan senantiasa dielaborasikan dan dikontekstualisasikan dengan khazanah pemikiran Islam sehingga terlahirlah pemikran yang lebih sistematis, kontekstual dan genuin dalam merespon semangat zaman ketika itu.
Kegelisahannya saat itu akan perseteruan yang tak kunjung terselesaikan antara pandangan Imam al-Ghazȃlḭ yang mencekal falsafah dengan ibn Bajjah yang berpandangan sebaiknya, menggambarkan keduanya seperti hal yang berbeda yang tak mungkin berjalan selaras berdampingan. Inilah yang menginspirasikannya untuk menjawab tantangan zamannya dengan mendamaikan keduanya. Setelah mempelajari hasil-hasil pemikiran para failasuf Islam yang telah mendahuluinya itu, Ibn Thufayl merasa perlu membangun suatu sistem falsafah tersendiri dengan mengambil jalan tengah untuk menjembatani jurang pemisah antara dua pihak itu, kemudian dari segi metodenya ia memiliki caranya sendiri yang sedikit banyaknya berbeda dengan pemikiran pendahulunya. Ia telah memilih suatu metode khusus dalam bentuk kisah khayalan yang dipaparkan dengan gaya yang menarik lewat karyanya yang terkenal sebuah roman Hayy ibn Yaqzân.
Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibn Thufayl yang menyangkut beberapa lapangan falsafah, seperti falsafah fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibn Rusyd. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah Hayy ibn Yaqzân, yang merupakan intisari pemikiran-pemikiran falsafah Ibn Thufayl, dan yang telah diterjemahkan kedalam berbagai-bagai bahasa. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Falsafah Timur) tidak lain adalah bagian dari risalah Hayy ibn Yaqzân.
Risalah ini ditulis atas permintaan salah seorang kawannya untuk mengintisarikan falsafah timur, seperti yang kita dapati pada kata pengantar di awal kisah ini yang dikutip langsung dari risalah Hayy ibn Yaqzân berbahasa arab dengan terjemahan sebagai berikut :
“Wahai saudara yang mulia, engkau meminta agar sedapat mungkin aku membuka rahasia-rahasia falsafah timur yang sudah disebutkan oleh Abu ‘Alḭ ibn Sḭnȃ. Ketahuilah bahwa bagi orang yang mengingkari kebenaran yang tidak berisi kesamaran lagi, maka ia harus mencari falsafah itu dan berusaha memilkinya”.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa inti pemikiran Ibn Thufayl termuat dalam karyanya Hayy ibn Yaqzân. Dalam mukadimah karya monumntalnya ini Ibn Thufayl ingin menjelaskan tentang dasar penulisannya tidak lain untuk menguraikan tentang rahasia-rahasia falsafah ketimuran yang yang khas dengan corak budaya dan peradaban Islam. Unik dan kaya dengan khazanah keilmuannya di setiap bilik kajian ilmu terutama falsafah yang penjelasannya tidaklah cukup diwakilkan lewat kata-kata yang rumit belaka. Agar pemikiranya lebih asyik dinikmati, ia kemas pemikiranya lewat roman falsafi Hayy ibn Yaqzân.
Roman tersebut mengisahkan dua jenis kehidupan manusia di dua pulau. Pulau pertama berisi kehidupan individu manusia. Sedangkan pulau yang kedua berisi kehidupan masyarakat manusia. Dua jenis kehidupan ini kemudian coba dipertemukan, tetapi tidak berhasil hanya sebatas “saling mengerti”. Masing-maisng kehidupan itu terkait dengan proses, alat, tingkat pengetahuan (ma’rifah), dan ruusan kebahagian yang dapat dicapai.
Berkaitan dengan proes ada tujuh fase kehidupan yang di lalui Hayy, yaitu :
Fase pertama : Hayy dipelihara seekor kijang hingga ia dapat belajar tindak tanduk dan bahasa hewan sekelilingnya. Ia mulai menutupi tubuhnya, membuat tempat-tempat teduh, dan mempersenjatai dirinya. Bahkan ia mulai menyimpan bahan makanan untuk persiapan.
Fase kedua : kijang yang memeliharanya mati. Hayy berusaha mengetahui penyebab kematian kijang ini dan binatang-binatang lainnya. Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya jiwa (roh) yang merupakan daya sentral dan bersifat immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad seluruh mahluk hidup. Hayy menemukan hal itu setelah melakukan pembedahan terhadap mayat-mayat binatang. Pada tahap ini pula ia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan daya yang menggerakanya.
Fase ketiga : Hayy mulai mengetahui api, kegunaan dan sumbernya. Dari pemikiranya tentang itu, ia sampai pada kesimpulan tentang adanya kausalitas yang menyebabkan adanya tertib alam dan akal budi.
Fase keempat : Hayy mulai mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah diamatinya. Pada tahap ini, ia telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.
Fase kelima : Hayy melihat ke atas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya itu ia mengetahui astronomi. Namun yang lebih penting lagi, dengan melihat ketertiban dan keteraturan serta pergerakan dan perubahnnya, ia memikirkan kesamaan dengan bumi atau mahluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya penggerak tertentu yang sama untuk semuanya.
Fase keenam : Hayy menegaskan bahwa perbedaan perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri, di samping menemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib al-wujûd. Menurutnya asal materi itu tidak mungkin materi lagi. Karena jika demikian, tentulah ada rangkaian materi yang tidak pernah berujung. Jadi, asal prtama ini haruslah immateri dan wajib al-wujûd. Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mencapai wajib al-wujûd, dan selalu tunduk kepada-Nya, dengan bigitu jiwa kan abadi. Sebaliknya jiwa yang tidak mengenal dan tunduk kepada-Nya akan hancur. Hayy memikirkan hal seperti itu hingga memasuki fase ketujuh.
Fase ketujuh : Hayy berkesimpulan bahwa tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna, penuh rahmat, dan menjadi tujuan setiap manusia. Karena itu, puncak kebahagian menurutnya hanya dapat dicapai bila sesorang selalu berhubungan jiwanya dengan tuhan tanpa henti, selalu merenungkan dan memikirkanya serta melepaskan diri dari dunia materi. Dengan perenungan yang demikian, sesorang akan sampai kepada obyek pengetahuan yang paling tinggi, yakni wajib al-wujûd tadi, dan itulah puncak yang senantiasa didambakan manusia.
Secra falsafi, roman ini ingin mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat dari setiap celah-celah kisah Hayy Ibn Yaqzȃn berikut ini seperti yang disimpulkan oleh Nadhima al-Jisr dalam buku Qissat al-Imam :
1. Urutan-urutan tangga ma’rifah (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
2. Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
3. Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, ketidak akhir-an, zaman, qadim, hudust, (baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
4. Baik akal menguatkan qadim-nya alam atau kebaharunnya namun, kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga, yaitu adanya Tuhan.
5. Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar akhlak tersebut, disamping menundukan keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa melalaikan hak badan, atau meninggalkannya sama sekali.
6. Apa yang diperintahkan oleh syari’at Islam, dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
7. pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia falsafah kepada mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapi batas-batas Syara’ dan meninggalkan pendalam sesuatu.
Demikianlah kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh lewat rumusan kata-kata tersebut. Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Nabi SAW juga telah mengatakan, bahwa setiap bayi yang dilahirkan oleh seseorang itu, muslim (suci), akan tetapi kedua orang tuanya membawa dia sebagai pemeluk agama yang dipeluk mereka. Penuturan hadist tersebut sejalan dengan bunyi ayat al-Qurȃn yang artinya : “Maka tegakan mukamu dengan lurus terhadap agama, sebagai fitrah kejadianyang menjadi dasar penciptaan manusia oleh Tuhan. Tidak ada pergantian pada penciptaan Tuhan” (Q.S. ar-Rûm / 30:30. Pikiran pokok dari ayat tersebut hendak menjelaskan bahwa ajaran Islam membantu sesorang yang diberikan pikiran sehat yang dapat dipakainya untuk membdakan antara baik dengan buruk, dalam menemukan jalan hidup yang baik bagi dirinya sendiri ; suatu jalan yang menuntunnya kepada pembebasan. Ibn Thufayl dalam kisahnya itu juga membuktikan tentang tidak adanya perlawanan antara falsafah dan ilmu pengetahuan dengan agama. Semuanya ini adalah sama dan sesuai satu sama lainya.
Daftar Pustaka
Khan, Ali Mahdi. Dasar-dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gerbang Pemikiran. Penerjemah Subarkah. Bandung : Nuansa, 2004.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. jakarta : Gaya Media Pratama, 2005.
Ibn Thufayl. Hay
y ibn Yaqzân. Beyrouth : Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1978.
Filed Under: Ekonomi-Politik , Filsafat , Peradaban Islam , Tokoh
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed