EPISTEMOLOGI DALAM Hayy ibn Yaqzhân
C'BOY Al-Bantani
|
Rabu, 22 Juni 2011
|
0 comments
Berbicara tentang sebuah sebuah teori pengetahuan dan ilmu pengetahuan pasti akan selalu berakarkan pada peradaban Yunani Klasik khususnya para Funding Father Filsafat, seperti Socrates, Aristoteles, Plato. Aristoteles mengawali metafisiknya dengan pernyataan “Setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin mengenai hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi benar-benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri.
Tetapi generasi sebelumnya, Socrates telah meniliti karir Filosofisnya sendiri beralaskan pada suatu dasar yang agak berbeda, yaitu keyakinan bahwa tidak seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan. Dalam pernyataan nubuat Delphi bahwa “ tidak ada manusia hidup yang lebih bijaksana daripada Socrates” yang maksudnya adalah tidak ada manusia yang mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang-orang lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Socrates sendiri yang tahu bahwa dia tidak tahu.
Sepintas tampak dua pandangan yang saling bertentangan mengenai keadaan manusia: di satu pihak, suatu afirmasi atau penegasan atas keinginan umum untuk tahu dan keinginan itu dapat diwujudkan. Di lain pihak, suatu pernyataan menegaskan mengenai ketidak tahuan umum sebagai kenyataan kodrati manusia. Namun kita bisa menemukan titik temu antara keduanya.
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimana pun bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugrahkan kepada manusia. Dengan itu dapat, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini : Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia ? bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep yang muncul sejak dini ? dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini ?
Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan, dan dalam dirinya terdapat bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Dan tidak diragukan lagi bahwa banyak pengetahuan manusia itu muncul dari pengetahuan lainnya. Karena itu, ia akan meminta bantuan pengetahuan terdahulu (yang sudah dimiliki ) untuk menperoleh pengetahuan baru. Filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan-bahanya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut epistemologi Islam, tidak lain adalah indra, akal, dan hati (intuisi).
Indra berfungsi tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga alat yang sangat diperlukan untuk menghindari diri dari bahaya, atau dengan kata lain, pancaindra merupakan intrumen untuk kelangsungan hidup. Akal bertindak sebagai pelengkap pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Akal yang dengan kelebihannya yang paling istimewa terletak pada kecakapan untuk menangkap “esensi” manusia dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya. Dengan kecakapan ini manusia dapat menangkap konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular. Kemudan hati, hati juga mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan yang “eksperimental" atau pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman spiritual.
Masalah epistemologi dalam filsafat Islam merupakan hal yang terpenting dalam memaparkan konsep pengetahuan yang hakiki. Salah satu tokoh penting yang sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat Islam di barat, Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd al- Mâlik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail. Filosof ini merupakan pemuka besar pertama pemikiran filosofis Muwahid dari Spanyol.
Keseriusannya dalam mempelajari pemikiran-pemikiran filsof Yunani khususnya seorang Aristoteles melalui teks-teks yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa arab tidak membuatnya menelan mentah-mentah berbagai ilustrasi dan imajinasi para filsof Yunani namun berbagai bidang kajian kefilsafatan senantiasa dielaborasikan dan dikontekstualisasikan dengan khazanah pemikiran Islam sehingga terlahir pemikran yang lebih sistematis, kontekstual dan genuin dalam merespon semangat zaman ketika itu.
Salah satu dari upaya tersebut adalah pembenahan terhadap filsafat pengetahuan (epistemologi). Yang ia uraikan lewat roman nya “Hayy ibn Yaqzhân” di mana ia membuktikan adanya kebenaran suatu pengetahuan baik secara memperoleh (sumber) pengetahuan maupun hakikat pngetahuan. Dalam epistemologi Hayy ibn Yaqzhân pancaindra dan akal. merupakan hal yang tidak dinafikan lagi sebagai sarana dalam mencapai pengetahuan. Namun kedua hal tersebut terkadang kurang memadai dalam mempertajam dan mentahqiqkan esensi pengetahuan.
Salah satu upaya yang ditawarkan oleh Ibn Thufail, ia gambarkan lewat tokoh Hayy ibn Yaqzhân yang tertarik untuk menyendiri dan melakan kontempalsi, merenung tentang Tuhan. yakni melalui ekstase yang merupakan bentuk tertinggi pengetahuan, tapi jalan menuju pengetahuan semacam ini diperlicin dengan pengembangan nalar, diikuti dengan pemurnian jiwa lewat praktek praktek kezuhudan.
Secara filosofis, roman Hayy ibn Yaqzhân merupakan suatu pemaparan yang hebat tentang teori ibn Thufail mengenai pengetahuan, yang berupaya menyelaraskan Aristoteles dengan Neo-Platonis di satu pihak, dan al- Ghazali dengan Ibn Bajjah di pihak lain. Al-Ghazali sangat kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles, tapi ibn Bajjah adalah pengikut Aristoteles. Ibn Thufail, mengikuti jalan tengah menjembatani jurang pemisah antara dua pihak itu. Sebagai seorang rasionalis ia mendukung Ibn Bajjahdalam melawan al-Ghazali dan mengubah tasawuf menjadi rasionalisme; sebagai seorang ahli tasawuf dai memihak al-Ghazali dalam melawan Ibn Bajjah dan merubah rasionalisme menjadi tasawuf.
Dari itu, amat penting untuk mengkaji secara kritis pandangan-pandangan ibn Thufail. Meskipun sudah banyak yang menulis serta mengkaji pandangan-pandangan Ibn Thufail, akan tetapi penulis melihat terdapat celah kecil yang belum dibahas dari pemikran Ibn Thufail yaitu tentang Epestemologi dalam Hayy ibn Yaqzhân.
Filed Under: Ekonomi-Politik , Filsafat , Peradaban Islam , Tokoh
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed