Peradaban Falsafah Islam di Timur dan Barat
C'BOY Al-Bantani
|
Rabu, 22 Juni 2011
|
0 comments
A. PENDAHULUAN
Gelombang Hellenisme merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan mudlarat bagi kaum muslim, dan membagi mereka antara yang menyambut dan yang menolak. Responsi mereka terhadapnya bisa menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman.
Sebagian besar Umat, khususnya mereka yang berada di bawah naungan ideologi Jama’ah dan sunnah, semula cukup enggan, jika tidak membenci Hellenisme itu. Tetapi secara umum terdapat banyak kaum muslimin yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kemantapan beragama dan kepercayaan kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebasan berfikir yang masih lebih besar lagi dari pada kaum mu’tazilah, mengembangkan falsafat itu dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara teknis disebut al- falȃsifah. Dari kalangan mereka ini tumbuh kelompok baru kaum terpelajar muslim, yaitu kaum failasuf suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sangat terpengaruh oleh falsafah Yunani.
Salah satu karakteristik yang menarik dari perkembangan falsafah di dunia Islam tepatnya adalah masuknya unsur-unsur asing yakni dari peradaban-peradaban yang lebih tua di luar Islam seperti peradaban Yunani, India, dan Persia. Dan kemudian dari sanalah mereka mentransformasi peradaban kuno tersebut dengan mengambil yang terbaik dari ilmu-ilmu kuno, para failasuf, dan para Ilmuan untuk membangun pilar-pilar perdaban Islam yang berkembang bukan hanya di timur tetapi juga di barat tepatnya wilayah Eropa seperti Spanyol, Maroko, dll dengan persamaan dan perbedaan antara keduanya tapi tetap menguatkan watak keislamannya.
B. Persamaan Falsafah Islam Di Timur Dan Barat
Falsafah Islam memecahkan problematika- problematika besar tradisional yakni, problematika tentang Tuhan, Alam Semesta dan Manusia. Ia memberikan pandangan ditail tentang semua ini dengan terpengaruh oleh lingkungan dan kondisi yang melingkupinya, disamping memanfaatkan kajian-kajian filosofis sebelumnya yang sampai kepadanya, baik itu dari Timur maupun dari Barat. Ia sampai pada sekelompok pendapat yang jika berbeda dalam rinciannya disebabkan oleh perbedaan tokoh-tokohnya, karena ia bertemu dalam aliran universal dan teori-teori milik berama. Namun dari itu falsafah Islam di Barat maupun di Timur tetap pada keduanya terdapa kesamaan corak dan ciri khasnya yang lekat pada keduanya, yakni ;
1. Didorong oleh agama dan didukung oleh pemerintah
Sangat berbeda dengan falsafat Barat yang justru lahir dan berkembang karena konfrontasi dengan gerja lewat doktrin-doktrin yang mengkerdilkan, namun Islam terlahir karena acuan dari teks-teks al-Qurȃn yang mengarahkan pada pemaksimalan potensi akal yang dimiliki manusia, bagaimana Agama dalam falsafah Islam begitu mendorong untuk menghayati dan memikirkan seluruh ciptaanya leawat bekal yang telah Allah berikan berupa Pancaindra, Akal, dan hati.
Dan juga dukungan dan keterbukaan dari pemimpin pemerintahan Islam untuk mengkaji pemikiran di luar Islam salah satunya dengan mengadakan penerjemahan besar-besaran teks-teks asing (bahsa Suryani) ke dalam bahsa Arab sebagai langkah awal membangun pilar dasar perdaban Islam yang dimulai di Timur dan kemudian dilanjutkan ke wilayah Barat, yang sangat menghargai para Ilmuan, Cendikiawan dan para Failasuf bahkan memposisikan mereka di pos-pos sentral kepemerintahan.
Salah satu karakteristik yang paling penting dalam sejarah umat Islam adalah cepatnya ekspansi dari Imperiun Islam setelah Nabi SAW wafat. Hal ini mendorong perluasan imperium ke daerah-daerah di Timur Tengah dimana terdapat beragam peradaban yang telah mapan selama kurun waktu yang sangat panjang. Para penguasa Muslim yang baru segera terdorong untuk melakukan hubungan langgeng dengan orang-orang yang telah memliki gagasan-gagasan yang agak canggih mengenai teologi, kedokteran, astronomi, dan matematika. Hal itupun disambut baik oleh para cemdikiawan Muslim dengan menggabungkan sebagian dari pemikiran ini ke dalam watak keislaman dan sebagai akibatnya terjadi sebuah simbiosis kebudayaan dan agama yang sangat kaya, yaitu simbiosis yang menghasilkan kekayaan-kekayaan ilmiah dan falsafah.
2. Sebagai falsafah religius-spiritual
Falsafah Islam berdasarkan pada prinsip agama dan dikatakan falsafah religius, karena falsafah Islam tumbuh di jantung Islam; tokoh-tokohnya dididik dengan ajaran-ajaran Islam, minimum semangat Islam dan hidup dengan suasana Islam.
Topik-topik falsafah Islam di Timur maupun di Barat itu bersifat religius, dimulai dengan mengesakan Tuhan dan menganalisa secara universal dan menukik teori ke Tuhanan yang tidak terdahului sebelumnya. Juga memberikan perhatiannya yang besar terhadap kajian tentang jiwa. Biasanya agama yang ada terlebih dahulu mengajak kepada hati sebelum akal. Semua failasuf Islam sepakat bahwa ruh merupakan sumber kehidupan gerak, persepsi sekaligus sebagai sarana kebahagiaan.
Dengan cara religius dan spiritual ini, falsafah Islam ini bisa mendekati falsafah skolastik, bahkan sejalan dengan sebagian falsafah modern dan kontemporer. Tokoh-tokoh agama di abad tengah tidak mungkin mengingkari falsafah yang mengemukakan teori pencipaan, membuktikan keabdaian jiwa dan mempercayai balasan dan tnggung jawab, kebangkitan ssetelah matidan kebahagiaan akhirat, bahkan Roger Bacon (1294) sampai mengagumi teori khalifah dan imamah Islam, seerti y ng dijelaskan oleh Ibn Sînȃ dalam kitab al-Syifȃ, sehingga ia ingin menerapkan gelar khalifah Allah fi Ardhi kepada Paus.
3. Falsafah Singkretis
Perpaduan antara Plato dan Aristoteles dianggap sebagai salah satu asas yang melandasi falsafah Islam, maka prinsip yang selanjutnya adalah memadukan falsafah dengan agama. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa falsafah Islam yang berkembang di Timur dan di Barat keduanya bercirikan religius. Falsafah yang berusaha sekuat tenaga untuk memasukan teks agama dengan akal. Kami bisa menegaskan bahwa smua failasuf Islam tanpa kecuali menerjuni perpaduan ini, dari al-Kindi hingga Ibn Rusyd, yang dalam rangka ini mereka bekerja keras dan menyuguhkan pendapat-pendapat yang baru dan orisinil. Kerja keras mereka berpengaruh pada peyebaran falsafah , dan menembus kaian-kajian Islam yang lainnya.
Memadukan berarti mendekatkan dan mengumpulkan dua sudut. Dalam falsafah ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan agama. Sebailknya, sebagian dari teks agama ada yang tidak sejalan dengan sudut pandang falsafah. Itulah sebabnya mengapa para failasuf Islam sibuk ciri agama pada falsafah, sekaligus memoles ajaran agama dengan rumusan falsafi. Perpaduan yang mereka lakukan nyaris berkisar berkisar dalam kedua masalah ini.
C. Perbedaan Falsafah Islam Di Timur Dan Barat
Adalah salah jika dikatakan bahwa al-Ghazȃlî telah mngakhiri riwayat falsafah dalam dunia Islam kendati setelah serangan al-Ghazȃlî itu, falsafah terpuruk di sebagian besar Dunia Islam belahan Timur dan khusunya di belahan Barat. Serangan al-Ghazȃlî ditanggapi secara memadai oleh failasuf Muslim terbesar di Barat, Ibn Rusyd (Averroes) (520-597 H/ 1126-1198 M), yang mewakili pemikiran Andalusia. Di negri Andalusia aktivitas filsafat brkembang scara signifikan. Belakangan dikatakan ada karakter Andalusia yang spesifik. Disini saya coba menyebutkan secara ringkas para pmikir smisal Ibn Bajjah (w. 537 H/ 1138 M) dan Ibn Thufayl (w. 581 H/ 1185-1186 M), dua failasuf yang meneruskan tradisi paripatetik dalam konteks falsafah yang lebih luas. Hayy ibn Yaqzhȃ (kehidupan anak kesadaran) karya Ibn Thufay yang mnyuguhakan telaah tentang cara individu dalam isolasi totalnya mampu menggunakan inteleknya untuk memahami hal-hal penting mengnai realitas pengetahuan yang ternyata selaras dengan ajaran-ajaran wahyu.
Timur
Paasca kritik dahsyat dari al-Ghazȃlî falsafah di Timur betul-betul luntur semangat kefalsafatannya shingga lebih cenderung pada metode teologis sufistik yang disuguhkan al-Ghazȃlî yang telah habis-habisan mekritik metode kefalsafatan dan menghantam para pemikir di Timur, hal tersebut mendorong pada efek yang cukup besar karena umat Islam kembali pada dogma-dogma dengan pengintrpretasian yang sempit dan sederhana saja, hal tersebut juga kemudian berimbas pada lambannya perkembangan ilmu pengetahuan di Timur dan tidak masif namun besifat stagnan.
Bahwa sejak itu Umat Islam terkurung dalam kamar sel nyaman Ghazaliisme, memang banyak yang mengatakan begitu. Gejala-gejala pada Ummat pun banyak yang bisa dutunjuk sebagai mendukung penilaian demikian. Dan menurut pandangan itu, Ummat Islam tudak akan mendapatkan kembali dinamika intelektualnya jika tidak berhasil memecahkan kamar sel Ghazaliisme itu.
Tapi, betapa pun, seperti telah disinggung, al-Ghazȃlî amat berjasa dalam menstabilkan pemahaman Ummat kepada agamanya. Berkat al-Ghazȃlî berbagai kekacauan dalam pemahaman itu teratasi. Hanya saja, justru stabilitas itulah yang mengesankan keterpenjaraan dan kemerdekaan. Walaupun demikian, masih merupakan tanda tanya besar, benarkah Ummat secara keseluruhan, dan samasekali, terkuasai oleh sistem pemahaman yang dibangun oleh seorang dari kota Thus di Perseia itu ? nampaknya betul jika kita melihat ke Timur, bagaimana Ummat Islam di Timur betul-betul telah terhipnotis dan terobsesi pada metode yang ditawarkan Imam al-Ghazȃlî yang kemudian cukup besar pengaruhnya pada perkembangan pemikiran kefalsafatan di Timur yang bermuara pada falsafah teologis –sufistik. Dan kemandegan pada perkembangan Ilmu pengetahuan.
Barat
Penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Ghazȃlî begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tidak sadarkan diri. Menurut lukisan seorang sarjana, al-Ghazȃlî sedemikian komplitnya memberi penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam itu, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah dia bagaikan telah menciptakan kamar untuk Ummat yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian pemenjaraan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Namun tampaknya tidak demikian yang terjadi di Barat yakni khusunya jantung Intelektual Eropa, Andalusia. Karena tidak berapa lama sepeninggalannya pemikir agung itu, di ujung barat Dunia Islam, di kota Cordoba, Spanyol, muncul seorang yang dengan kemampuan intelektual luar biasaberusaha memecahkan sel Ghazaliisme. Dialah Ibn Rusyd (Abu al-Walid ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, seorang yang diakui sebagai ahli Aristoteles yang terakhir dan terbesar dalam Islam. Karyanya yang terbesar, ialah kritiknya terhadap buku tulisan al-Ghazȃlî, Tahȃfut al-Falȃsifah (“kekacauan para Failasuf”). Dengan cerdik dan tendensius Ibn Rusyd memberi judul karyanya Tahȃfut al Tahȃfut(“kekacauan buku kekacauan”).
Dari usaha Ibn Rusyd tersebut berdampak baik untuk keberlangsungan falsafah Islam di barat karna terselamatkan dari keredupannya seperti yang mulai terjadi di Timur. Yang justru pasca hantaman dari al-Ghazȃlî tersebut, Ummat Islam justru meninggalkan tradisi-tradisi intelektual Islam dan lebih tertarik pada metode yang ditawarkan al-Ghazȃlî kemudian tidak lagi mengkaji pemikiran-pemikiran geniun dari para failasuf Islam seperti Tokoh Ibn Sînȃ, seorang failasuf, cendikiawan, dan ilmuan Islam paling terkenal di Timur dan di Barat.
Ketika Falsafah Islam di Timur mulai redup dengan gelombang Ghazaliisme, falsafah Islam di Barat justru mulai membangun pilar-pilar perdaban nya lewat persentuhanya dengan orang Kristen dan Yahudi yang sangat apresiatif atas tradisi intektual islam yang sudah sangat terkenal di dunia ilmu pengetahuan, maka kemudain di Barat lah sebagi rumah baru bagi falsafah Islam untuk mengembangkan khzanah keintelektualitasnya. Islam saat itu dapat melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat mempengaruhi lahirnya pencerahan peradaban yang kelak akan laihir di Barat.
Ketika Falsafah di Timur terjebak dalam sel Ghazaliisme dan mengalami kemandegakan untuk melairkan ilmu-ilmu pengetahuan, Barat ketika itu tekun mempelajari tokoh besar Failasuf Islam seperi Ibn Sînȃ dan Ibn Rusyd yang bermuara pada lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan.
Daftar Pustaka
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1996.
Leaman, Oliver, ed., Farhad daftary : Tradisi-tradisi Intelektual Islam. Jakarta : Erlangga , 2002.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis. Bandung : MIZAN, 2001.
Madkour, Ibrahim, . Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin. Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
Majid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1994.
Filed Under: Ekonomi-Politik , Filsafat , Peradaban Islam , Tokoh
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed